Kiprah Aktivis Perempuan di Untag Surabaya

Bulan April adalah bulannya Kartini. Kartini-kartini dipestakan, disanjung, dihimbau dan tentu saja diberi petunjuk. Berita-berita dalam surat kabar berkisar umumnya tentang karini. Surat-suratnya, perjuangannya, hidupnya.

Kartini hidup dan berjuang di rumah, di pasar, di jalan, bahkan di Universitas. Belakangan ini Karini boleh sedikit bernafas, pergeseran paradigma dalam memandang dirinya mulai tampak dengan munculnya berbagai kesempatan dan pengakuan perannya diberbagai sektor kehidupan. Seperti yang pernah diramalkan oleh Jhon Naisbeth dan Patricia Aburders yang mengatakan bahwa abad 21 ini adalah abadnya perempuan. Di dunia barat ramalan itu mungkin memang terbukti, tapi bagaimana dengan Indonedia atau lebih dekat lagi dengan kampus kita, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya?

Tercatat perbandingan jumlah mahasiswa perempuan dn laki-laki tiap tahunnya meningkat, hal ini tentu saja sangat mengembirakan karena membuktikan bahwa perempuan semakin sadar akan pentingnya pendidikan dalam kelangsungan hidupnya. Tapi kemudian hal itu menjadi ironi, karena ternyata sampai tahun tercatat tidak pernah lebih dari 8 orang perempuan yang menduduki posisi ketua Unit Kemahasiswaan (UKM) di Untag.

Padahal dalam soal prestasi akademik, perempuan selalu patut untuk di perhitungkan. Terbukti pada tahun 2004, dari 10 lulusan terbaik, 8 orang diantaranya adalah perempuan. Tapi kemudian, mengapa kiprah perempuan dibidang Organisasi Kemahasiswaan tidak sebaik prestasi akademisnya? Ketertinggalan perempuan dari laki-laki di bidang Organisasi juga terbukti tidak adanya Presiden BEM yang dipegang perempuan untuk masa bakti 2003/2004. Sebetulnya aoa yang menjadi penyebab utama dari tidak maksimalnya kiprah perempuan dibidang Organisasi yang ada di Untag? Jawabannya mungkin bisa bermacam-macam tergantung dari segi mana kita memandang. Dari hasil wawancara dengan beberapa perempuan di Untag, kebanyakan dari responden menjawab karena keengganan perempuan untuk berhubungan dengan birokrasi, adanya pandangan sebelah mata dari pihak laki-laki, bahwa perempuan hanya mampu sebagai konseptor bukan dinamisator, tidak mampunya perempuan untuk total dalam soal waktu dan manajemen konflik. Dalam hal ini, perempuan juga menyalahkan adanya budaya yang tidak mendukung aktifitas organisasi perempuan di masyarakat.

Laki-laki (Untag) sebagai partner perempuan dalah kehidupan menyatakan bahwa perempuan itu kurang mampu mengambil keputusan, perempuan juga biasanya pasif dan kurang inisiatif dalam melakukan tindakan-tindakan pemecahan masalah. Dalam menghadapi permasalahan dalam organisasi, perempuan juga cenderung tidak fokus.

Segala argument di atas banyak berakar dari kondisi sosial budaya yang ada dalam masyarakat. Masih kuatnya pandangan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin membuat laki-laki jadi kurang mau di pimpin perempuan, sedangkan perempuan sendiri dengan segala keterbatasan biologis yang dimiliki terlanjur terformat untuk menerima hal tersebut. Hal yang harus digaris bawahi kemudian adalah, dalam organisasi tidak hanya diperlukan pemimpin yang kuat fisik serta pemikirannya, tapi juga punya kemampuan untuk memahami keinginan atau kebutuhan kelompok. Sepertinya, kemampuan semacam itu tidak hanya dimiliki oleh laki-laki. Selanjutnya, pilihan diberikan kepada perempuan untuk tetap tinggal diam atau memilih untuk mulai bergerak! (Iz/Dee)

tulisan diambil dari Jurnal 'Oase' No. 2 Tahun I,
diterbitkan oleh Fordimapelar; April-Mei 2004

Read more

FordimapelarContact Us

Graha Wiyata Lt. 2,
Universitas 17 Agustus 1945,
Surabaya.
email : fordimapelar@gmail.com
twiitter   : @fordimapelar

Twitt-twitter

Follow