Oleh Jairi Irawan*
Judul buku : SERIMPI
Penulis : Rohana Handaningrum
Penerbit : Jaring Pena
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : vi + 138 halaman
SEMENJAK kisah terusirnya Adam dan Hawa dari surga, tercatat dalam kitab-kitab agama, “penyalahan” selalu tertuju pada Hawa. Tak lain karena Hawa--wanita pertama sekaligus cinta pertama Adam—penyebab kekasihnya itu memakan buah khuldi. Keduanya pun menjalani kisah di muka bumi. Mungkin ini yang diisyaratkan Tuhan dengan khalifatullah fil ardlh. Tetapi permasalahan yang muncul bisa berbeda dari yang diisyaratkan Tuhan.
Setelah kejadian itu berlalu, posisi perempuan tak pernah beranjak dari kelas nomor dua sebagai mahluk Tuhan. Meminjam istilahnya Simone de Bouvier bahwa perempuan merupakan the second sex dalam masyarakat.
Keadaan ini diperkuat kenyataan bahwa setiap pilihan menjadi sang utusan Tuhan, para nabi maupun rasul yang turun di muka bumi senantiasa jatuh pada laki-laki. Tidak ada nabi atau rosul berjenis kelamin perempuan. Sehingga amatlah sulit bagi perempuan untuk keluar dari “kungkungan” masyarakat untuk beraktualisasi layaknya laki-laki yang mendapatkan otoritas penuh langsung oleh Tuhan. Mau tidak mau perempuan tertunduk dengan sendirinya oleh dominasi laki-laki. Keadaan ini diperparah oleh adanya klaim-klaim dan tafsiran kitab suci dari pemeluknya yang beragam tentang agama bahwa wanita adalah mahluk yang harus diasingkan, dijauhkan dari laki-laki.
Sebegitu burukkah perempuan sehingga harus menjalani siksaan atas kesalahan atau “penyalahan” yang tak disengaja? Hal ini yang rupanya ingin dibelokkan oleh penulis kumpulan cerpen ini. Di balik takdir perempuan dengan segala kelemahan dan kekurangannya, ia memiliki sesuatu yang luar biasa, semangat, kerja keras, pantang menyerah, gigih, dan haus akan ilmu pengetahuan. Kilatan-kilatan kekuatan ini yang cenderung (sengaja) dilupakan oleh masyarakat petriarkhi.
Handaningrum yang jebolan psikologi sebuah universitas di Surabaya, mencoba melihat perempuan dari sisi dirinya yang merasakan segalanya sebagai perempuan. Ia benar-benar merasakan bagaimana rasanya menjadi perempuan yang selalu di kucilkan, yang mendapat stigmatisasi jelek di masyarakat, kelas dua dan sebagainya. Rasa dendam yang menghunjam di dadanya diungkapkan seluruhnya dalam kumpulan cerpen ini. Dengan kata lain istilah sindrom iri penis terungkap jelas dalam gaya penceritaannya.
Cerpen yang berjudul Parabhen yang berarti perawan dalam bahasa Madura cukup mewakili kediriaannya tentang kebenciannya terhadap laki-laki. Tokoh dalam cerpen ini digambarkan seperti seorang Roro Mendut, perempuan “perkasa” yang berhasil membuat gonjang-ganjing Mataram waktu itu. Tokoh “Ndut” lahir karena “ketidaksengajaan” ibunya bercinta dengan lelaki yang salah yang kebetulan ibunya juga adalah seorang tandha. Maka dari itu sampai beranjak dewasa ia bergelut dengan stigma masyarakat akan anak haram dan anak seorang sundel, julukan seorang pelacur. Dari situlah semacam dendam kesumat terpatri dalam dadanya.
Ia dengan aura Roro Mendut`nya telah mengalahkan beberapa lelaki. Ia berhasil meniduri bukan sebaliknya ditiduri laki-laki. Akhirnya ia menemukan laki-laki yang dianggapnya memiliki kecerdasan seorang pria. Kecerdasan yang berlandaskan logika bukan kecerdasan intuitif. Pertemuan itu semakin menekatbulatkan dirinya untuk dapat menaklukkan laki-laki. “…aku begitu tertantang melihatmu telanjang, aku ingin melihat berapa besar logika dan kecerdasanmu mampu mengalahkan gairah saat kau hilang akal dalam pemberontakan kama yang hendak kau muntahkan (hal. 23).
Rasa ingin menaklukkan tidak hanya sebatas perempuan Madura seperti dalam cerpen Parabhen. Dalam cerpen skandal dengan latar belakang dan tokoh Sunda juga demikian. Dengan begitu itu menggambarkan bahwa perempuan juga memiliki rasa yang sama dimana pun ia berada. Bagitu juga dengan perempuan Jawa yang dikenal “nrima” juga memiliki dendam dengan laki-laki.
Bukan sekadar itu, dalam kumpulan cerpen ini, penulis juga menyelipkan cerita betapa perempuan juga menginginkan keadilan dalam hal pendidikan. Pendidikan tidak hanya milik kaum laki-laki saja. Pendidikan dianugerahkan untuk semua makhluk. Tak terkecuali perempuan. Rupanya ini garis besar kumpulan cerpen ini, karena pendidikanlah yang mendasari kesadaran diri. Pendidikan sebagai suatu penyadaran diri.
Handaningrum selain menjadi aktivis mahasiswa ia juga seorang pegiat di salah satu LSM yang mengurusi perempuan. Ia dengan gigih bagaimana pendidikan bisa menjangkau perempuan dan mengangkat derajat perempuan sejajar dengan laki-laki. Ia terinspirasi oleh tokoh Nyai Ontosoroh, tokoh pemberontak novel bumi manusia karya Pramoednya Ananta Toer. Semua manusia memiliki mimpi dan cita-cita baik itu anak bangsawan, presiden, atau hanya anak seorang tukang pemulung (hal. 24).
Bila dalam agama peran perempuan sudah tidak ada calah untuk bisa sejajar dengan laki-laki maka pendidikan adalah satu-satunya yang bisa member jawaban. Dengan pendidikan manusia akan menjadi manusia seutuhnya. Hal ini juga sesuai dengan Undang–Undang Nomor 20 Tahun 2003. Melalui pendidikan seseorang akan menemui “kemanusiaannya” sehingga akan tetap bersikap “manusia”. Potret yang ia angkat keseluruhan berangkat dari pendidikan. Ia berpendapat bahwa pendidikan akan menjadikan perempuan cerdas dan kelak akan menciptakan generasi yang cerdas (hal. 126).
Lukisan pengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan tergambar lugas dan jelas dalam cerpen terakhir yang juga dijadikan judul kumpulan cerpen ini. Perempuan sebagai pendidik utama generasi bangsa haruslah memiliki kompetensi yang bagus, pengetahuan yang luas, dan kecerdasan yang mumpuni.
Dapat dibayangkan bila perempuan-perempuan yang menjadi “tiang rumah tangga” adalah wanita yang utun—istilah yang digunakan untuk menyindir orang yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali, lugu akan kenyataan keras sehari-hari. Maka bisa disimpulkan generasi yang dihasilkan adalah generasi-generasi yang kelak akan menjadi gedhibal masa depan dan masyarakat, generasi-generasi yang juga utun sama seperti yang mengajarkannya.
Bagi saya seandainya perempuan Indonesia memiliki jiwa pendidikan seperti Kartini, keberanian seperti Cut Nyak Dien sangat memungkinkan Indonesia akan bisa terbebas dari ke-utun-an. Dan buku ini adalah tepat sebagai bacaan bagi perempuan yang ingin seperti mereka. Dan bagi laki-laki yang masih memandang perempuan sebagai “bawahannya” tentunya buku ini setidaknya akan menghentakkan logikanya. Dan pastinya seperti itu. Wallohua’lam bishshowab.
* Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Airlangga dan aktif di Center for Religious and Community Studies (CeRCS) Surabaya.
2 Komentar to "“Dendam” Perempuan di Balik Takdir"
Posting Komentar
Semua saran, kritik dan masukan kami terima melauli kotak komentar di bawah ini.
Kami juga menerima berbagai artikel yang bisa dipertanggung jawabkan keasliannya, silahkan anda kirim ke fordimapelar@gmail.com
Terima Kasih
Graha Wiyata Lt. 2,
Universitas 17 Agustus 1945,
Surabaya.
: fordimapelar@gmail.com | |
twiitter | : @fordimapelar |
Link
Popular
-
Sekretariat : Graha Wiyata Lt. 2, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya email : fordimapelar@gmail.com / elroseven@gmail.com twiitt...
Unknown says:
hmm...,,
kemaren masih belom selesai baca`nya..,, :D
di Gramedia udah ada belom, ya....??
Unknown says: